Selama ini kita mungkin telah mengenal seismometer sebagai alat untuk mencatat gerakan tanah akibat getaran yang ditimbulkan oleh gempa bumi. Dengan alat ini maka semua komponen gerak translasi (arah-x, y, dan z) di permukaan tanah dimana alat tersebut dipasang, dapat diukur. Dengan bantuan alat ini pula, para seismolog dapat menentukan kapan, dimana dan berapa besar energi gempa bumi yang telah terjadi. Lebih jauh, mereka dapat menduga struktur perlapisan di bawah permukaan bumi, bahkan sampai ke Inti bumi.
Namun demikian, secara fisika, masih ada satu komponen lagi yang luput dari pengamatan para seismolog, yaitu komponen gerak rotasi. Tidak diamatinya komponen gerak yang satu ini, bukan karena ketidak-sadaran mereka akan adanya gerak rotasi akibat gempa bumi, namun lebih pada kesulitan di dalam mengukur komponen komponen ini. Apalagi dari simulasi yang telah dilakukan sekitar tahun 80-an, dengan asumsi yang sederhana, komponen gerak rotasi ini dipercaya mempunyai harga yang kecil sehingga tidak begitu signifikan untuk diukur, selain menyebabkan pengukurannya menjadi semakin sulit.
Secara terpisah, ternyata para peneliti di bidang earthquake engineer justru menganggap komponen gerak rotasi ini sangat penting. Mereka menduga bahwa komponen ini, meskipun dengan amplitudo yang kecil, dapat menyebabkan kerusakan struktur bangunan. Hal ini terutama untuk bangunan dengan bentuk memanjang seperti jembatan atau saluran pipa-pipa. Untuk itu, meskipun tanpa bantuan alat yang dapat mengukur gerak rotasi ini secara langsung, mereka bisa mendapatkan komponen gerak rotasi ini dengan cara merekam komponen gerak translasi di beberapa lokasi sekaligus. Secara matematis, dalam batas-batas tertentu, kita memang dapat menurunkan komponen gerak rotasi dari pengamatan gerak translasi di beberapa titik lokasi pengukuran sekaligus (seismic array).
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pengukuran dengan teknik array ini memerlukan kehati-hatian yang tinggi karena sangat dipengaruhi oleh tingkat gangguan (nois) di masing-masing titik pengukuran. Dengan demikian, pengukuran gerka rotasi secara langsung dengan menggunakan sensor rotasi merupakan alternatif terbaik untuk bisa mendapatkan hasil pengukuran yang akurat. Sampai saat ini, sensor gerak rotasi yang dianggap memiliki tingkat akurasi yang tinggi adalah ring laser.
Prinsip kerja ring laser
Sebetulnya ring laser bukan merupakan alat yang baru ditemukan. Sejak tahun 60- an, alat ini sudah digunakan untuk keperluan navigasi terutama pada pesawat komersial maupun militer dan kapal laut. Ring laser bekerja berdasarkan prinsip Sagnac, sesuai dengan nama ilmuwan perancis G. Sagnac yang malakukan eksperiment ini (Gambar 1) pertama kali pada tahun 1913.
Sinar laser dipancarkan dalam dua arah perambatan yang saling berlawanan, yang satu searah dengan jarum jam dan yang lain berlawanan arah jarum jam. Oleh sebuah detektor, kedua gelombag tersebut ditangkap dan di kombinasikan. Jika alat ini tidak mengalami gerak rotasi, maka panjang lintasan gelombangnya akan sama sehingga akan menghasilkan output berupa interferensi yang destruktif.

Gambar 1. Prinsip kerja alat ring laser yang terdiri dari pemancar laser, yang memancarkan laser pada dua arah yang belawana dan detektor untuk mengkombinasikan sinar laser dari kedua arah rambat tersebut.
Jika alat tersebut mengalami rotasi, maka panjang lintasan gelombangnya akan berbeda, menghasilkan perbedaan fase sehingga menimbulkan fenomena layangan gelombang. Frekwensi layangan gelombangnya (beating frequency) ini akan sebanding dengan gerak rotasinya, dimensi dari instrumen ini (keliling ring laser, luas penampang ring laser) dan panjang gelombang sinar laser yang digunakan. Semakin besar keliling ring lasernya, semakin sensitif alat ini dapat menangkap gerak rotasi.
Ring laser terbesar yang telah beroperasi berada di negara bagian Bayern, Jerman dan mempunyai dimensi panjang dan lebar 4 m x 4 m. Dengan dimensi sebesar itu, alat tersebut mampu mengukur gerak rotasi dengan ketelitian 7,3 x 10-14 radian per detik. Sebagai gambaran saja, gempa bumi yang terjadi tanggal 26 Mei 2006 di Yogyakarta kemarin (Magnitudo 6.3), seandainya diukur dengan sensor rotasi di Jakarta yang berjarak sekitar 500 km, akan mempunyai amplitudo sebesar 10-8 radian per detik.
Apa yang bisa kita peroleh dengan mengukur gerak rotasi
Prototipe pertama ring laser untuk aplikasi geofisika dibuat pada tahun 1990 di Universitas Catenbury Cristchurch New Zeeland. Alat ini kemudian diberi nama C-1. Ring laser ini mempunyai luas penampang 0,75 m2, yang pada mulanya digunakan untuk mengukur parameter-paramenter dalam gerak rotasi bumi (sudut rotasi bumi, panjang hari, gerak kutub bumi, dan fenomena gerak presisi dan nutasi). Secara konvensional, parameter-parameter tersebut biasanya diamati dengan menggunakan teknik radio astronomi, seperti VLBI (Very Long Baseline Interferometry).
Studi mengenai aplikasi ring laser khusus dalam bidang seismologi dimulai sekitar tahun 1997, dengan munculnya beberapa laporan hasil pengamatan gerak rotasi akibat gempa bumi di beberapa jurnal geofisika. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah “Apa sih manfaat diketahuinya gerak rotasi ini?”.
Secara singkat, dengan diketahuinya gerak rotasi ini, kita dapat melakukan studi mengenai parameter gelombang seismik (gelombang gempa) dengan lebih ekonomis. Mengapa demikian? Karena selama ini, untuk dapat mengetahui parameter gelombang seperti kecepatan gelombang gempa, arah rambatan gelombang dari sumber gempa, serta kecepatan gelombang gempa sebagai fungsi dari frekuensi gelombangnya, kita perlu memasang beberapa (puluh) sensor translasi (seismometer) dalam radius beberapa kilometer. Tentu saja hal ini memerlukan biaya yang sangat besar. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk perawatan. Sementara dengan mengunakan sensor rotasi ini, kita hanya perlu komplemen satu buah sensor translasi di tempat yang sama, untuk bisa tahu parameter-parameter diatas. Saat ini sedang dilakukan studi yang intensif untuk menjajagi kemungkinan diaplikasikannya gerak rotasi ini untuk memperbaiki pemahaman kita tentang proses rupture di dalam patahan yang menyebabkan terjadinya gempa bumi.
Perspektif di Indonesia
Indonesia yang mempunyai kwantitas dan kualitas kegempaan yang tidak kalah dari Jepang maupun Amerika Serikat, namun dari segi instrumentasi dan prasarana pendukung serta infrastruktur sangat tertinggal jauh, sebenarnya dapat memetik manfaat dari ring laser ini. Dengan alat ini, kita dapat menghemat jumlah seismometer yang harus dipasang untuk bisa mengetahui parameter gelombang gempa yang telah terjadi.
Hanya saja kendala yang ada saat ini adalah belum tersedianya ring laser ini di pasaran. Namun penulis yakin, banyak ahli fisika di Indonesia yang mampu untuk melakukan studi dan mengembangkan alat ring laser ini. Tentu saja hal ini bisa dilakukan jika pemerintah mendukung upaya-upaya untuk memahami fenomena gempa di Indonesia dalam rangka meminimalisir jumlah korban jiwa maupun kerugian materiil lainnya. Penulis masih ingat betul pernyataan salah seorang pejabat pemerintah kita pasca bencana Tsunami tahun 2004 kemarin, yang mengatakan bahwa “Berapapun biaya yang diperlukan untuk merehabilitasi Aceh, pemerintah akan menyediakan!”. Dalam kaitannya dengan hal ini, penulis memimpikan juga sebuah pernyataan lain “Berapapun biaya yang diperlukan untuk riset dibidang gempa ini, pemerintah akan menyediakan!”. Semoga saja hal tersebut bukan hanya sekedar mimpi. Amin.