Penganugerahan Nobel tahun 2006 mencantumkan dua nama ilmuwan berusia relatif muda (41 dan 42 tahun) dari Amerika Serikat yaitu Andrew Z. Fire (Stanford University) dan Craig C. Mello (University of Massachusetts) sebagai penerima penghargaan di bidang Fisiologi dan Kedokteran. Penghargaan ini mereka peroleh atas penemuan mereka berjudul ‘RNA interferens, membungkam gen dengan RNA berutas ganda’ (RNA interference, gene silencing by double-stranded RNA). Penemuan ini sempat dipublikasikan pada jurnal bergengsi ‘Nature’ pada tahun 1998 (1).
Penganugerahan ini mendapat tanggapan berupa sebuah surat korespondensi dalam jurnal yang sama dengan judul ‘Nobel RNAi mengabaikan pekerjaan dasar vital pada tumbuhan’ (RNAi Nobel ignores vital groundwork on plants) pada akhir bulan November 2006 lalu (2). Topik dan isi korespondensi tersebut jelas mengisyaratkan adanya kekecewaan kelompok ilmuwan biologi molekuler pada tumbuhan yang telah terlebih dahulu menemukan efek RNA berutas ganda (double-stranded DNA (dsRNA)) pada penghambatan ekspresi gen pada tumbuhan, yang kemudian mengantarkan aplikasi RNAi, sebagai istilah generik mekanisme ini, pada hewan dan serangga oleh ilmuwan biologi molekuler lainnya, termasuk oleh Fire dan Mello beserta kolega-koleganya yang memfokuskan pada cacing Caenorhabditis elegans.
Hal tersebut memang dapat dibuktikan kebenarannya, sehubungan salah satu referensi dalam publikasi Fire dan Mello beserta kolega-koleganya tersebut, mencantumkan publikasi dari jurnal bergengsi lain yaitu ‘Science’ tahun 1997 tentang membungkam gen (gene silencing) pada tumbuhan (3). Publikasi tersebut menunjukkan teknik pembungkaman gen pada tumbuhan dalam mekanisme pertahanan terhadap virus, dan jelas menggambarkan penelitian pembungkaman gen pada tumbuhan selangkah lebih dahulu dibandingkan penelitian pembungkaman gen pada hewan dengan model pada cacing C. elegans yang digunakan oleh Fire dan Mello beserta kolega-koleganya.
Penghambatan ekspresi gen dengan memasukkan dsRNA ini, sebetulnya ditemukan secara tidak sengaja oleh Napoli dkk (1990) (4) saat bermaksud meningkatkan intensitas warna pada bunga Petunia. Mereka memasukkan dsRNA yang komplementer dengan gen yang berperan dalam biosintesis pigmen warna bunga. Hasil yang mereka peroleh sangat berbeda dengan yang diharapkan, ternyata warna bunga yang diperoleh tidak menjadi ungu tua sebagaimana umumnya warna bunga Petunia, melainkan sebaliknya menjadi berwarna ungu keputih-putihan. Dari penemuan tersebut, kemudian merangsang berbagai kelompok peneliti tumbuhan lainnya dan hewan mencoba mengikutinya dengan tujuan untuk mempelajari efek tertekannya (suppression) ekspresi gen akibat introduksi dsRNA ke dalam sel.
Istilah ‘membungkam gen’ (gene silencing) sendiri, merupakan istilah yang mulai populer dalam dunia biologi molekuler pada saat Fire dan Mello melakukan penelitiannya. Istilah ini dipakai untuk menjelaskan penghambatan ekspresi gen pasca-transkripsi akibat interfensi masuknya RNA berutas ganda (dsRNA) ke dalam sel makhluk hidup, sebelum akhirnya dikenal istilah generik RNAi. Selain istilah ‘gene silencing‘, referensi lain mengistilahkan teknik ini dengan sebutan ‘memukul jatuh gen’ (knock out gene).
Terlepas dari kontroversi yang seringkali hadir seputar penganugerahan Nobel, penemuan RNAi ini merupakan penemuan spektakuler di bidang biologi molekuler pada saat ini. Dengan penemuan ini, muncul harapan bahwa RNAi dapat memberikan manfaat dalam bidang kedokteran di masa depan, misalnya untuk penyembuhan penyakit akibat gen-gen mutan, gen-gen letal, maupun penyakit lainnya yang disebabkan oleh virus. Oleh karena itu memang sudah selayaknya mendapatkan penghargaan sekelas nobel.
Mekanisme RNAi dalam membungkam gen
RNAi melibatkan dsRNA yang secara spesifik menginterfensi ekspresi gen komplementer dengan dsRNA tersebut di dalam sel. Pada organisme tingkat tinggi (eukariot), dsRNA yang sengaja dimasukkan atau disuntikkan ke dalam sel, akan mendapat respon dari sel dengan menghadirkan enzim dicer yang merupakan RNA-ase tipe III dan mampu mengidentifikasi dsRNA asing. Kemudian enzim dicer ini akan memotong dsRNA tersebut menjadi berukuran lebih kecil sekitar 20-24 basa nukleotida. Potongan-potongan dsRNA ini kemudian disebut dengan siRNA (small-interfering RNA) berhubung ukurannya yang lebih kecil dibandingkan dsRNA awal.
siRNA ini kemudian akan teridentifikasi dan ditangkap oleh kompleks multi-protein berisikan ribonuklease (ribonuclease-containing multi-protein complex) atau diistilahkan dengan RISC (RNA-induced silencing complex). RISC ini berfungsi memisahkan rangkaian utas ganda siRNA menjadi utas tunggal. Utas tunggal dari siRNA ini kemudian dibawa oleh RISC, untuk berpasangan dengan mRNA (messenger RNA) yang menjadi target pembungkaman gen, pada sekuens basa nukleotida yang persis sesuai (di mana basa nukleotida urasil (U) akan berpasangan dengan basa nukleotida adenine (A), dan basa nukleotida guanin (G) akan berpasangan dengan basa nukleotida sitosin (C), demikian pula sebaliknya).
Setelah siRNA dibawa oleh RISC berpasangan dengan mRNA target, ‘slicer‘ yang terdapat pada molekul RISC akan memotong mRNA target. Pada hewan, mRNA yang terpotong ini akan teridentifikasi oleh sel sebagai mRNA yang menyimpang atau rusak (aberrant mRNA) dan langsung dihancurkan oleh metabolisme sel, untuk mencegah terjadinya penerjemahan menjadi protein yang tidak lazim. Sedangkan pada tumbuhan, di samping hancur, mRNA menyimpang ini dapat menjadi cetakan (template) yang akan teridentifikasi oleh enzim RNA-dependent RNA polymerase (RdRp) untuk melakukan polimerisasi dan menjadikan mRNA yang semula berutas tunggal menjadi RNA berutas ganda (dsRNA). Selanjutnya, dsRNA baru ini akan kembali teridentifikasi oleh enzim dicer dan seterusnya berulang-ulang, mengakibatkan semakin banyak mRNA target yang terpotong dan tidak berfungsi lagi.
Gambar 1. Model mekanisme RNAi dari dsRNA yang diintroduksikan ke dalam sel hingga terbentuk dsRNA baru
Mekanisme RNAi ini sebetulnya juga terjadi secara alami, yaitu dengan adanya miRNA (micro RNA) di dalam sel organisme sebagai pengganti dsRNA. miRNA ini merupakan pengkode genome dan mempunyai fungsi dalam regulasi gen. Sekilas miRNA ini mirip dengan dsRNA yaitu berupa sekuens basa nukleotida RNA yang tidak lengkap dan utas ganda terbentuk karena adanya sekuens yang saling berkomplemen di kedua ujung RNA, pada bagian-bagian yang tidak berkomplemen terjadi perputaran yang disebut dengan istilah hairpin.
Mekanisme RNAi ini telah dibuat film animasinya dan film ini dapat diperoleh secara bebas pada website ‘Nature’ (5). Mekanisme ini cukup bermanfaat pada tumbuhan dan hewan dalam mengatasi penyakit yang disebabkan oleh gen-gen mutan, gen-gen letal, maupun penyakit lainnya yang disebabkan oleh virus. Diperkirakan, cukup dengan memasukkan atau menyuntikkan dsRNA yang komplemen dengan gen-gen berbahaya atau DNA/RNA virus, maka gen-gen atau DNA/RNA tersebut akan mengalami tekanan pada tingkat pasca transkripsi dengan adanya degradasi mRNA, sehingga tidak terbentuk protein pengganggu dari keberadaan gen-gen berbahaya ini atau DNA/RNA virus.
Referensi
1. Fire, A., S. Xu, M. K. Montgomery, S. A. Kostas, S. E. Driver and C. C. Mello. 1998. Potent and specific genetic interference by double-stranded RNA in Caenorhabditis elegans. Nature, 391: 806-811.
2. Bots, M., S. Maughan and J. Nieuwlandt. 2006. RNAi Nobel ignores vital groundwork on plant. Nature, 443: 906.
3. Ratcliff, F., B. Harrison and D. Baulcombe. 1997. A similarity between viral defense and gene silencing in plants. Science, 276:1558-1560.
4. Napoli C., C. Lemieux, and R. Jorgensen. 1990. Introduction of a chalcone synthase gene into Petunia results in reversible co-suppression of homologous genes in trans. Plant Cell, 2: 279-289.
5. RNAi Animation Movie: http://www.nature.com/focus/rnai/animations/index.html